Menerbitkan Komik Sendiri atau Lewat Penerbit? | Oleh Sweta kartika

Di Copy dari catatan facebook sweta kartika (komikus Nusantaranger)



Ketika kecil, saya bercita-cita menerbitkan komik saya sendiri ke penerbit komik. Saat itu saya berharap komik saya bisa dibaca banyak orang dan saya senang karena bisa menyenangkan banyak orang. Namun, jalan untuk menuju terwujudnya cita-cita ini tidaklah semudah memimpikannya. Sebagai komikus pemula, saya harus berhadapan dengan proses editorial, lamanya waktu pengerjaan, revisi, proses menunggu jadwal cetak dan terbit, sampai mendapatkan royalti yang layak dengan jumlah eksemplar yang tidak banyak. Apakah mimpi itu disebut kandas? Tentu tidak. Setelah mencoba menggeluti industri penerbitan komik, hingga berkarier di ramainya konten komik digital dewasa ini, saya ingin sekedar berbagi pemikiran melalui sebuah catatan berjudul "menerbitkan komik sendiri" ini.

Saya berkawan dengan banyak tipe komikus di Indonesia: yang profesional bekerja sebagai komikus dari penerbit luar, komikus profesional dari penerbit lokal, komikus yang menerbitkan karyanya sendiri secara profesional, komikus indie yang menjual komiknya secara indie, komikus yang sekedar hobi ngomik, juga komikus yang sedang mau mulai belajar tentang komik. Ada beberapa komikus yang mengeluh ketika komiknya berulangkali ditolak penerbit. Alasannya pun beragam; ada yang dianggap terlalu aneh, terlalu sadis, terlalu porno, terlalu SARA, dan terlalu terlalu lainnya. Sebagian komikus ada yang mengalami penolakan itu menyerah dan mengeluhkan penerbit yang menolaknya. Padahal, boleh jadi karyanya ditolak editor memang karena belum memenuhi standar penerbitan dan bisa membahayakan kedua pihak jika diterbitkan. Dan satu catatan lagi, setiap penerbit komik mempunyai batasan editorial yang berbeda-beda.



Komikus yang karyanya berhasil lolos ke sebuah penerbitan biasanya akan menghadapi proses editorial, dimana sebuah karya komik akan mendapat pemangkasan dan penyesuaian sesuai kebutuhan dan pengalaman penerbit. Dalam proses ini, komikus yang sangat-sangat idealis dengan karyanya akan kecewa dengan adanya beberapa penyesuaian itu. Tapi sekali lagi, pemangkasan dan penyesuaian konten komik itu muncul atas pengalaman editor dalam menerbitkan komik. Bagaimanapun, penerbit akan berhati-hati mengeluarkan barang dagangannya. Ada sebagian yang sepakat dengan hasil editorial, namun banyak juga yang menyerah dan memilih jalur indie. Di jalur indie ini, komikus tidak akan dibebani oleh sistem editorial dan keperluan marketing industry suatu penerbit. Komikus Indie bebas menentukan konten, format komik, gaya bahasa, gaya gambar, dan sebagainya. Apakah komik indie bisa dijual tanpa penerbit? Tentu saja bisa. Menjual komik itu caranya beragam. Apakah komik indie akan selalu ditolak penerbit? Tentu saja tidak. Ada beberapa penerbit yang bersedia menerbitkan komik indie loh. Syarat dan ketentuan berlaku, hehe



Keuntungan menerbitkan komik di penerbit komik besar ada banyak. Diantaranya, komikus tidak perlu repot-repot mengurusi proses pencetakan, distribusi, dan (sebagian) promosi, juga soal hitung-hitungan hasil transaksi. Dalam hal ini, keuntungan financial menerbitkan komik via penerbit ditentukan dalam Royalti. Sejauh yang saya ketahui, rata-rata penerbit memberikan royalti sebesar 10% per 3000 eksemplar. Besar rupiah yang diterima tergantung dari laris atau tidaknya komik tersebut di pasaran, juga berdasar harga komiknya juga. Banyak yang bilang juga kalau angka tersebut tidak bisa dipakai untuk sandaran hidup. Tapi banyak komikus yang mengejar hal lain saat komiknya diterbitkan, yaitu kebanggan dan prestasi.




Pagar untuk menerbitkan komik di penerbit yang menganut standar penerbitan Jepang memang tidak mudah. Ada beberapa aturan teknis yang harus dipatuhi. Dan aturan-aturan tersebut terkadang tidak bisa ditempuh dalam waktu cepat dan mudah. Misalnya; komikus harus membuat satu cerita ke dalam kisaran 180 halaman untuk satu buku. Kalau bisa membuatnya dalam waktu singkat, tentu royalti yang diterima bisa membayar biaya selama komik dibuat. Namun, jarang yang berlaku sejalan. Hitungan kasarnya, 180 halaman paling cepat bisa dicapai dalam waktu 6 bulan (dengan asumsi 1 halaman dalam 1 hari), dan itupun harus dengan bantuan asisten (toning, background, lettering). Jika mengandalkan penghasilan dari royalti saja, maka hitungan biayanya tidak cukup masuk, kecuali komiknya sangat-sangat laris dan bisa naik cetak berkali-kali dalam sebulan.



Pupuskah harapan setelah mengetahui fakta ini?
Indonesia itu ajaib. Dalam sebuah kesulitan system, komikusnya menemukan cara-cara jenius untuk bertahan. God bless social media!
Saya mau berbagi pengalaman tentang komik saya yang berjudul Grey & Jingga: The Twilight. Komik ini saya mulai di facebook sekitar Oktober 2012 dengan format komik strip dan bergenre romance. Kala itu, saya menantang diri saya untuk bisa rutin mengunggah komik ini setiap Senin dan Kamis. Proses penayangan komik ini nyaris tidak menemui hambatan. Selama hampir satu setengah tahun, saya rutin menayangkan komik serial Grey & Jingga di facebook tanpa pernah terlewat satu jadwalpun. Ketika memulai, follower saya di Facebook ada sekitar 4.000 orang. Ketika komik Grey & Jingga tamat di bulan Februari 2014, follower saya melonjak menjadi 14.000 orang. Artinya, saya berhasil mengumpulkan pembaca komik saya sebanyak 10.000 orang. Penayangan rutin dan kualitas konten tentu menjadi biang kesuksesannya. Komik Grey & Jingga kemudian diterbitkan oleh Koloni Gramedia dan mencetak rekor sebagai komik dengan penjualan tercepat. (Kalau terlaris seingat saya dipegang oleh Garudayana).



Dalam hal ini, social media merupakan salah satu jalur alternatif bagi para komikus untuk menayangkan komiknya. Keuntungan dengan menayangkan via sosmed (istilah kerennya) adalah gratis alias tanpa biaya, dan kita sebagai komikus bisa langsung mendapatkan respon dari pembaca terhadap karya kita.



Penerbit melihat keberadaan sosmed ini sebagai ajang untuk mencari konten. Jaman dulu, sebelum adanya sosmed, penerbit akan menunggu submisi komik dari komikus. Dan kalaupun sudah ada kesepakatan untuk menerbitkan satu judul, mereka harus berspekulasi terhadap kemungkinan terburuk bahwa komik tersebut akan lesu di pasaran. Kemunculan sosmed dan internet merupakan portal bagi para talent scout dan penerbit untuk melacak satu komikus maupun konten komik hingga mengorbitkannya ke pasaran. Salah satu acuan mereka adalah jumlah follower komikusnya. Ingat, ini hanya salah satu acuan. Penerbit juga harus hati-hati melihat performa dan konten komiknya. Bisa jadi follower banyak, tapi karyanya tidak memenuhi standar penerbitan. Tetap saja komik itu lewat dari mata penerbit. Misalnya, konten komiknya nyinyir, SARA, Super Hentai, dan sebagainya.




Apakah selamanya kalau komikus punya follower selangit lantas karya komiknya diburu penerbit? Belum tentu. Lihat dulu kualitasnya. Tidak ada jaminan follower banyak, lantas komiknya laku di pasar. Juga tidak ada jaminan follower si komikus bisa diitung jari, tapi komiknya nggak laku di pasar. Ingat, sebelum ada sosmed, tidak ada standardisasi berdasarkan follower. Tidak ada jaminan itu. Pasar kita cukup anomali untuk dirumuskan. Apakah lantas komikus dengan jumlah pengikut yang banyak bersedia diterbitkan komiknya? Belum tentu. Banyak komikus yang merasa bisa menjual barang dagangannya sendiri tanpa bantuan penerbit. Memang kesannya swag abis sih, tapi itulah yang namanya berbisnis hehe



Saya akan menyoroti salah satu komik karya teman saya, Faza Meonk: Si Juki. Bagi saya, Si Juki merupakan sebuah fictional character yang di-manage dengan sangat baik melalui social media. Faza menyusupkan kredo Si Juki ke berbagai jaringan sosmed untuk mewartakan kontennya, dan berhasil menyasar market dengan sangat-sangat jenius. Alhasil, Si Juki bisa dikenal luas sehingga membawa kencrengan rupiah ke kantong Faza. Pertanyaannya, kalau saja konten Si Juki tidak menarik dan tidak disukai market, akankah bisa seterkenal ini (meskipun sudah digembar-gemborkan ke berbagai media social)? Jawabannya: Belum tentu. Kualitas konten dan jaringan penyebaran via social media merupakan satu konfigurasi yang tidak terpisahkan. Dengan menilik jumlah follower dan konten yang diusung, Si Juki akhirnya diterbitkan oleh Bukune Publisher dan laris manis di pasar.



Catatan pentingnya adalah, jumlah follower seorang komikus hanya dipakai sebagai acuan dasar bagi penerbit untuk mematikulasi serapan produk komik di pasaran. Contohnya begini; jika follower FB saya saat ini mencapai 23.000 orang, penerbit akan berasumsi bisa menjual setidaknya 3.000 eksemplar komik saya dipasaran. Apakah semakin besar jumlah follower, semakin kecil pula error dari matikulasi tersebut? Belum tentu. Boleh jadi, follower saya jadi banyak gara-gara saya suka bikin status tentang kegalauan asmara yang tidak ada hubungannya dengan komik yang sedang saya buat. Makanya, tingkat kelarisan komik Grey & Jingga berbeda dengan tingkat kelarisan komik Pusaka Dewa di web Ragasukma. Si Juki adalah contoh yang paling tepat dalam mengkonfigurasikan konten dan jumlah follower. Dan formulasi manajemen social media Si Juki tidak bisa asal tempel dicontek oleh saya untuk memasarkan komik Pusaka Dewa. Alasannya jelas: pasarnya berbeda. Maka, salah kaprah kalau beranggapan bahwa penerbit hanya mau menerbitkan komik dari komikus yang followernya banyak. Kontennya harus dilihat dulu. Penerbit yang mana dulu? Penerbit itu ada banyak, dan masing-masing punya cara sendiri untuk memilih komik yang hendak diluncurkan.

Bagi saya pribadi, jika ditinjau dari sisi marketing, tidak ada komik bagus atau jelek. Yang ada adalah komik berkualitas yang tepat sasaran atau tidak. Bagus kontennya tapi tidak bagus menyasarkannya, bagi saya sama saja gagal. Saya berpendapat bahwa komik yang sukses adalah komik yang isinya sampai dengan baik kepada pembaca. Jangan sampai kita terlalu percaya diri memasarkan komik tentang Tuntunan Sholat kepada para preman gemar judi. Salah-salah komik kita dibakar gara-gara terlalu menggurui. Atau terlalu percaya diri membuat komik untuk anak-anak tanpa memperhitungkan bahwa nanti ibunya yang akan membelikan untuk anaknya. Apalagi terlalu percaya diri melabeli komik sendiri sebagai komik berkualitas tapi realita bicara sebaliknya. Formula ini harus dipahami baik-baik.

Indonesia dipenuhi oleh komikus-komikus kreatif yang tahan banting. Saya bersyukur banyak nama-nama baru yang muncul dan meroket dengan cepat atas dasar kualitas komiknya yang rupawan. Mohon untuk tidak menerjemahkan kata “kualitas” dengan “gambar yang keren kayak gambarnya Takehiko Inoue”. Bukan. Berkualitas artinya ada sinkronisasi mutu antara konten dan penyajiannya. Nama-nama seperti  Re:ON, Wook Wook, Si Juki, Kosmik, dan yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu merupakan produk yang lahir dari sebuah evolusi marketing dalam industri komik lokal. Yang lebih gokil lagi, banyak komikus-komikus muda yang berhasil menata bisnis komiknya sendiri secara independen, tanpa perlu terlalu bergantung pada penerbit, tapi bisa semakin sukses komiknya. Ini adalah salah satu buah keberhasilan. Di lain waktu, saya akan menuliskan khusus soal manajemen bisnis untuk komik terbitan sendiri yang bahannya saya ambil dari berbagai sumber.



Akhir kata, sosmed merupakan salah satu jalan untuk mempopulerkan komik dan komikusnya. Selanjutnya, alam semesta yang akan menentukan apakah komik itu bisa laris atau tidak. Dengan adanya jaringan social media ini, sangat beruntung bagi mereka yang bisa mengoptimalkannya di jalan kebaikan berkarya. Sibuk-sibuklah memperbaiki kualitas komik kita.
XGRA AXY!!
Previous
Next Post »