Apa itu storytelling?
Sederhananya, storytelling adalah teknik atau kemampuan untuk menceritakan sebuah kisah, pengaturan adegan, event, dan juga dialog. Kalau di film, para film maker bersenjatakan kamera; di komik, para komikus bersenjatakan gambar dan angle cerita; di cerpen atau novel, para penulis bersenjatakan pena, diksi, dan permainan kata serta deskripsi.
Kenapa storytelling penting?
Sering liat kan ada cerita yang idenya sekilas bagus, spektakuler, pokoknya ajib dah, tapi setelah diikutin ternyata kita malah ngga ngerti isi ceritanya. Atau, ada novel/cerpen yang sebenarnya punya ide cerita yang keren, tapi menggambarkannya asal-asalan karena nggak tahu soal pacing, panelling, dan permainan angle (ini sebenarnya istilah buat komik, Neko masih belum nemu pengganti yang pas buat nulis cerita. Ada yang bisa bantu?). Storytelling adalah langkah untuk meramu cerita supaya menarik untuk diceritakan, sehingga ketika proses menggambarkannya ke dalam lembar kertas dapat lebih proporsional.
Berikut ini ada beberapa tips buat bisa jago storytelling.
Kalau kita punya cerita, pastikan kita paham betul alur ceritanya dengan baik. Sederhananya, kita tahu seperti apa awalnya, bagaimana pengembangan alurnya, dan terakhir kita tahu cara mengakhirinya.
Sesudah kita pahami isi cerita, coba putar-putar terus ceritanya di kepala, sampai kita tahu, bagian mana yang seharusnya paling banyak kita ceritakan, bagian mana yang seharusnya TIDAK PERLU kita sampaikan, dll. (Asas manfaat ternyata berlaku juga dalam membuat tulisan ehehehe)
Ketika kita memahami porsi cerita, kita jadi bisa membayangkan adegan-adegan di dalam cerita itu, jadi terbayang seperti apa penempatan visualisasinya di dalam bab-bab novel/cerpen. Misalnya, ada adegan ketika tokoh ikhwan yang berjanji akan menikahi seorang akhwat di tengah rinai gerimis, setelah ikut pengajian bersama di malam Sabtu*
*catatan: huahahahah! Mas Sweta Kartika aslinya makai adegan contoh cowok yang nembak cewek. Tapi biar lebih "Islami", Neko ganti adegannya jadi "semi syari'ah" XD
Para komikus atau film maker akan terbayang untuk menggambarkan adegan dengan menempatkan pada panel panjang dengan angle 'bird view' (sudut pandang atas) dan long shot (pengambilan gambar jarak jauh), menampakkan kedua sejoli itu tengah berhadapan di bawah temaram lampu jalan (agar lebih Islami, Neko tambahkan adegan sang Murrobbi yang datang sambil berkecak pinggang! Huahahh...lha? Kok jadinya malah komedi? XD)
Itu kalau pakai kamera dan gambar. Sebagai penulis, kita akan mendeskripsikan rintik hujan yang turun terdengar melodis, nuansa temaram yang romantis, degupan si ikhwan saat mengucapkan janji, suaranya halus dan berat terdengar malu-malu tapi berusaha terlihat tegar, wajah si akhwat yang bersemu, pandangannya yang ditundukkan, secercah harapan indah akan masa depan muncul, tergantung permainan sudut pandang mungkin penulis akan menambahkan isi kepala atau hati dua insan ini saat adegan terjadi. Trus kalau mau jadi komedi ya...ditambahkan adegan sang Murrobbi yang datang sambil berkecak pinggang itu huahahah... (udah cukup syariah ga ini? Pusing ngadaptasinya euy. Tapi ini contoh penggambaran adegan paling mudah dan mengena di hati kalian kan??? Iya kaaan? Ngaku deh! XD)
Lebih singkatnya Neko sering menyebutkan hal ini sebagai cinematic visual writing. Menggambar film di atas kertas. Menulis dengan membayangkan adegan seolah terjadi dalam film atau komik.
Terakhir, barulah kita menggambarkannya ke dalam lembar kertas.Di sini Neko lebih memilih istilah asli yang digunakan oleh Sweta Kartika, yaitu "menggambar" daripada "menulis". Ya, karena sebagai penulis kita nggak sekedar menulis, tapi "menggambar" adegan dengan aksara dan kata.
Nggak cuma komikus dan film maker, penulis juga orang yang paling jago untuk berpikir secara visual. Malah kadang kita harus berpikir secara audio dan kinestetik juga. Karena senjata kita cuma aksara dan kata, beda dengan gambar dan video yang bisa menampilkan adegan secara nyata di depan mata. Syukur kalau ada ilustrasi yang memudahkan pembaca memahami isi cerita. Kalau nggak ada berarti visualisasi cerita kita harus lebih kuat lagi agar bisa memancing imajinasi pembaca mengikuti cerita kita.
Sumber | http://www.flpmalang.com